Setelah pelantikan Presiden RI 2019-2024, Presiden Joko Widodo mengungkapkan tentang sebuah konsep Rancangan Undang-Undang Omnibus Law di dalam pidato pertamanya. Salah satu isinya adalah mengenai sistem pemberian gaji bulanan yang diganti menjadi upah per jam.
Wacana ini mendapatkan pro kontra dari berbagai kalangan. Meskipun dinilai dapat mendorong peningkatan investasi, namun disisi lain wacana ini dikhawatirkan akan membuat perusahaan semena-mena atas upah yang diberikan pada pekerja.
Jadi, sebenarnya wacana upah per jam dalam RUU Omnibus Law itu apa sih? Mengapa wacana ini mendapatkan pro kontra dari berbagai kalangan? Dan apa relasinya antara upah per jam dengan peningkatan investasi?
Yuk simak beberapa fakta mengenai wacana upah per jam yang harus kamu ketahui!
1. Upah Per Jam Tidak Berlaku Untuk Seluruh Pekerja
Upah per jam tidak berlaku untuk seluruh buruh atau pun aparatur negara, melainkan wacana ini ditujukan untuk sektor jasa seperti konsultan dan pekerja paruh waktu. Bagi pekerja yang mendapatkan gaji bulanan, gaji mereka sudah diatur sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan. Sedangkan bagi pekerja paruh waktu, misalnya pekerja paruh waktu restoran, gaji mereka biasanya dibayar sesuai dengan keinginan pemilik restoran. Begitu pun dengan konsultan yang saat ini banyak sekali para konsultan dibayar per jam setelah menjamurnya startup di Indonesia. Hal inilah yang menjadi keinginan Pemerintah agar para pekerja (tidak hanya pekerja tetap, melainkan semua pekerja baik konsultan maupun pekerja paruh waktu) mendapatkan kepastian mengenai upah yang diberikan kepada mereka. Gaji pekerja paruh waktu nantinya akan diatur melalui aturan yang akan dimasukkan kedalam RUU Omnibus Law Ketenagakerjaan.
2. Buruh Menolak Upah Per Jam
Bagi mereka dengan ditetapkannya upah per jam, Indonesia bisa saja tidak lagi memiliki upah minimum karena dengan perubahan upah per jam, akan membuat UMP terkikis dan menghilang. Perusahaan bisa saja semena-mena atas upah yang diberikan kepada pekerja atau hanya ingin memberikan pekerjaan beberapa jam saja kepada pekerja. Lalu, perusahaan bisa saja merasa tidak lagi memiliki tanggung jawab atas pembayaran jaminan sosial karena seperti BPJS Kesehatan, standarnya adalah UMP.
Penerapan ini, bagi mereka juga akan berdampak pada diskriminasi pekerja perempuan yang tengah haid atau melahirkan. Upah mereka akan terpotong selama cuti haid atau cuti melahirkan.
Kecuali penerapan upah per jam telah memenuhi beberapa syarat dan kriteria, seperti pasokan dan permintaan terhadap tenaga kerja rendah. Artinya, perekonomian negara telah mencapai titik keseimbangannya karena lapangan kerja sangat terbuka.
3. Meningkatkan Investasi dan Fleksibilitas
Pembayaran upah per jam dinilai akan mendorong peningkatan investasi dan sekaligus membawa dampak terhadap penciptaan lapangan kerja karena pembayaran per jam akan membuka kesempatan bagi perusahaan dalam memberikan fleksibilitas untuk menerapkan pengupahannya. Tidak semua sektor akan diberikan upah per jam akan tetapi ini hanya berlaku untuk beberapa sektor. Seperti sektor industri, akan tetap mengikuti pola gaji minimum bulanan. Tapi, sektor penunjang industri, seperti sektor jasa dan perdagangan dapat memanfaatkan penerapan upah per jam.
Sumber referensi : https://money.kompas.com/read/2019/12/23/213200926/pembahasan-omnibus-law-ketenagakerjaan-alot.
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/nasional/read/2019/11/29/13511951/mengenal-omnibus-law-yang-akan-dibahas-pemerintah-dan-dpr