Membayar Air Susu?

0
1807
sumber foto : https://www.facebook.com/basri.adhi/photos
sumber foto : https://www.facebook.com/basri.adhi/photos

Ningsih adalah nama ibunya. Rully adalah nama anaknya. Ibu dan anak ini sedang berserteru di Pengadilan Agama Praya. Asal muasal seterunya karena perkara warisan. Dan karena berseteru di Pengadilan Agama, maka bisa dipastikan keduanya muslim, dan membagi warisan dalam Hukum waris Islam.

Pangkal persoalannya adalah suami Ningsih (atau ibunya Rully) meninggal dunia meninggalkan warisan berupa tanah seluas 4,2 are (sekitar 420 meter persegi) yang berdiri di atasnya sebuah rumah.

Konon, sebelum meninggal, almarhum pernah memberikan “wasiat” bahwa kalau dia meninggal, rumah tersebut jangan dijual. “Dia (Rully) tetap ngotot agar tanah itu tetap dibagi, padahal wasiat bapaknya tidak boleh untuk dibagi. Jadi dia tidak ingin berdamai, saya pun tidak ingin berdamai, biar deh lanjut perkaranya,” kata Ningsih sebagaimana dikutip Kompas.com

Melihat kelakuan anaknya itu, Ningsih sampai mengancam akan menuntut air susu yang sudah diberikan kepada Rully. “Pokoknya saya tidak maafkan dia (Rully), pokoknya dia harus bayar air susu saya, saya sudah capek jadi ibu, saya sudah bosan,” kata Ningsih dengan nada tinggi, demikian juga yang dikutip oleh Kompas.com

Oke, kita kupas satu-satu, kita pandang secara obyektif dari kacamata Hukum waris islam.

PERTAMA. Bolehkan seseorang -menurut Hukum waris Islam- melarang ahli warisnya membagi harta warisnya? Dalam hukum Waris Islam berlaku prinsip IJBARI. Yang dimaksud Ijbari adalah bahwa dalam kewarisan Islam secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris

Seseorang tidak boleh berkehendak diluar ketentuan Hukum Waris, terkait harta yang kelak ditinggalkannya, karena dalam Islam tidak dikenal kepemilikan harta secara pribadi. Harta ini milik Allah SWT, dan kita hanya mendapat titipan (lihat -salah satunya- dalam surat Al Maidah :120).

Jadi tindakan membuat “wasiat” yang isinya melarang harta waris dibagi adalah melanggar prinsip Ijbari ini.

KEDUA. Pembagian warisan adalah pembagian NILAI (VALUE), bukan pembagian fisik. Misal yang dibagi adalah rumah, maka yang dibagi adalah nilai rumahnya; bukan jumlah kamarnya. Itu mengapa kewarisan Islam berlaku prinsip AKURAT. Tinggal di salah satu kamar dalam rumah itu, bukan berarti pembagiannya sudah sah, karena nilainya belum tentu sepadan dengan porsi pembagian yang digariskan dalam Surat An Nisa’: 11-12.

KETIGA. Banyak pihak menilai pembagian (porsi waris) dalam Hukum Waris Islam (Surat An Nisa : 11-12) tidak adil karena semata hanya melihat angka porsinya, seperti misalnya istri (yang memiliki anak) yang “hanya” menerima 1/8 bagian. Itu terjadi karena mempelajari Hukum Waris Islam hanya berfokus pada dua ayat tersebut.

Padahal, tuntunan soal Hukum Waris Islam dimulai dari surat An Nisa’ ayat 2 hingga ayat 10, yang intinya Melindungi Hak Anak Yatim. Jadi ada latar belakang yang cukup kuat sampai muncul porsi tersebut.

Memahami Hukum Waris Islam hanya sepotong-sepotong (atau bahkan tak mengetahuinya sama sekali) berakibat munculnya asumsi tidak adil tadi.

Maka sebenarnya, betul apa yang dikatakan Rully (si anak) dalam persidangan mediasi tersebut. “Nanti kalau sudah putusan kita akan tahu hak-hak kita, hak adik saya, hak mama saya, dan ini juga untuk jaga-jaga kalau nanti ada yang mengklaim harta warisan almarhum bapak,” kata Rully, sebagaimana dikutip oleh Tribunkaltim.com

KEEMPAT. Karena minimnya literasi soal Hukum waris, maka minim pula tindakan Perencanaan waris. Kasus ini tentu bukan kasus yang pertama, tapi kita seolah tutup mata, dan berusaha bilang dalam hati “Ah, semua baik-baik aja).

Pertanyaannya selanjutnya : Jadi apa peranan Produk Asuransi Jiwa dalam hal mencegah Pertikaian ini terjadi?

Untuk diketahui Akad Asuransi Jiwa adalah Akad yang mengatur kesepakatan antara “Penanggung” (cq. Perusahaan Asuransi) dengan “Tertanggung” (yang berkepentingan) untuk memberikan manfaat pada “Yang Ditunjuk”. Berbeda dengan Hukum waris yang mengatur antara Pewaris, Ahli waris dan Harta waris.

Bagian istri dalam kasus seperti di atas -menurut Hukum waris islam- adalah 1/8 bagian dari NILAI RUMAH tersebut, sisanya adalah hak Ahli waris lain (termasuk anak-anak yang notabene menjadi anak Yatim yang haknya dijamin oleh surat An Nisa’ : 2 -10). Katakan istri menjadi pihak “Yang Ditunjuk” dalam Akad Asuransi Jiwa, maka dia bisa membayar/mengkompensasi 7/8 hak ahli waris lain dengan Manfaat Uang Pertanggungan Asuransi Jiwa tersebut.

Dengan dibayarkan/dikompensasikannya hak para ahli waris lain, maka ketentuan Hukum Waris tersebut bisa ditunaikan dengan baik. InsyaAllah, tidak akan ada sengketa di kemudian hari. Seolah rumah tersebut “dibeli” oleh si istri/ibu dari anak-anak.

Lalu, apakah harus menggunakan uang dari Manfaat Asuransi Jiwa untuk mengkompensasi hak ahli waris lain? tentu saja tidak. Karena dalam Islam bisa saja kalau istri memiliki uang tunai senilai 7/8 harta waris, dia bisa saja membayarkannya dengan uang tunai yang dimilikinya sendiri.

Masalahnya, tidak semua istri memiliki kemampuan mengumpulkan, hingga memiliki uang sebesar itu (bayangkan kalau nilai rumah warisan itu Rp 1 Miliar, artinya istri harus siap Rp 875 juta).

Maka, di sinilah peran asuransi jiwa sebagai Solusi Perencanaan Waris. Artikel ini tentu belum mewakili keseluruhan konsep Kewarisan Islam, detilnya anda bisa Ikut kelas saya. Batch 8 akan diselenggarakan tanggal 27 Agustus 2020. Info dan pendaftaran, silakan kontak mbak Ade di BHR Academy melalui watsap 0819 9643 8678.

Semoga kita nanti tak perlu menuntut apa yang sudah kita berikan pada anak-anak kita (karena itu kewajiban orang tua) gara-gara berebut warisan. Termasuk meminta anak membayar air susu yang sudah dicurahkan …

Oleh : Basri Adhi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here