Lagi-lagi keadaan darurat ekonomi terjadi di Indonesia, untuk saat ini yang sedang kita alami adalah wabah pandemi atau covid-19 yang menimbulkan kemandekan berbagai kegiatan ekonomi. Hal seperti ini bukan tidak mungkin akan terulang di masa mendatang. Bagi masyarakat kondisi seperti ini tentu merupakan ujian berat, pendapat berkurang, usaha dan bisnis mengalami kendala, pekerja di perusahaan terkena PHK.
Persoalan semakin pelik ketika dihubungkan dengan utang-piutang yang dilakukan oleh seseorang saat sebelum masa pandemi terjadi. Karena mandeknya sumber pendapat mereka tentu kemampuan membayar hutang pun juga terkendala. Untuk permasalahan seperti ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengantisipasinya dengan mengeluarkan aturan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Kebijakan stimulus tersebut terdiri atas:
1.Penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain dengan plafon s.d Rp10 miliar; dan
2.Peningkatan kualitas kredit/pembiayaan menjadi lancar setelah direstrukturisasi selama masa berlakunya POJK. Ketentuan restrukturisasi ini dapat diterapkan Bank tanpa melihat batasan plafon kredit/pembiayaan atau jenis debitur.
Kebijakan OJK tersebut merupakan kabar gembira bagi pebisnis, Usaha Kecil dan Menengah, serta masyarakat yang kehilangan mata pencahariannya. Namun, demikian peraturan ini ternyata tidak berlaku bagi mereka yang melakukan pinjaman secara online melalui perantara perusahaan fintech (Finansial Technology).
Mengapa demikian? Ada beberapa kondisi mengapa fintech tidak bisa melakukan restrukturasi pinjaman. Adapun kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
• Gaya bisnis dari fintech yang berbeda dari perbankan, khususnya berkaitan dengan sumber dana. Sumber dana dalam fintech berasal dari investor dan tetap menjadi hak milik investor. Berbeda dengan perbankan yang memiliki hak mengelola dana nasabah.
• Perusahaan fintech hanya berposisi sebagai perantara antara penerima pinjaman dengan pemberi pinjaman.
• Perikatan keperdataan fintech adalah sebagai perantara/agen, sedangkan perikatan hutang-piutang terjadi antara pihak investor dengan peminjam.
Meskipun OJK telah mengeluarkan surat bernomor S-360/NB.21/2020 perihal Restrukturisasi Pinjaman di Industri Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) terkait Covid-19. Namun, dalam isi surat tersebut menyatakan fintech p2p (financial technology peer to peer lending) merupakan perikatan keperdataan yang melibatkan pemberi pinjaman sebagai kreditur dan penerima pinjaman sebagai debitur. Fungsi perusahaan fintech p2p hanya sebagai platform yang mempertemukan pemberi pinjaman dan peminjam.
Karena fungsi fintech hanyalah sebagai platfrom perantara maka ia tidak memiliki kewenangan dalam melakukan restrukturasi pinjaman. Lalu siapa yang berhak? Tentu jawabnya adalah pihak investor pemberi pinjaman.
Kendati demikian, perusahaan fintech p2p dapat dapat menjadi fasilitator antara usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak akibat wabah Covid-19 kepada Pemberi pinjaman melalui mekanisme dan analisis kelayakan pada masing-masing perusahaan fintech p2p dan keputusan persetujuan atau tidaknya permintaan restrukturisasi pinjaman adalah di pihak Pemberi pinjaman.
Jadi posisi fintech di sini adalah fasilitator saja, selain itu fintech juga dapat membantu pemberi pinjaman untuk melakukan analisis kelayakan. Sampai disini perlu ditekankan bagi nasabah fintech, agar mereka tidak mengalami salah paham terkait fungsi fintech sebagai platfrom.
Sumber:
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/OJK-Terbitkan-Kebijakan-untuk-Tindak-Lanjuti-PERPPU-No-1-Tahun-2020.aspx