Sejak tahun 2020 lalu, Indonesia telah ramai memperdebatkan seputar omnibus law cipta kerja yang tengah menjadi pembahasan utama para penguasa. Tidak hanya kalangan praktisi atau pelaku usaha saja yang sibuk mempertanyakan arah serta substansi omnibus law cipta kerja ini, sebagian kaum akademisi nampaknya tidak kalah bijak dalam memberikan kiprahnya yang turut memikirkan regulasi yang dibuat oleh pemerintah.
Berbagai macam tulisan mahasiswa bertebaran di media sosial sebagai wujud perhatiannya terhadap kondisi negara. Banyak yang menyatakan diri untuk mendukung adanya Omnibus Law cipta kerja ini, namun juga tidak jarang adanya pihak yang merasa kurang sepaham. Wajar saja, keberadaan omnibus law cipta kerja ini menyangkut banyak orang, sebab hampir di setiap daerah terdapat para pelaku usaha ataupun para karyawan dari sebuah usaha.
Omnibus law cipta kerja yang dibuat oleh parlemen ternyata memiliki dampak yang cukup besar. Tidak hanya pada satu sektor saja tetapi ternyata merambah ke beberapa bagian lainnya. Dampak yang ditimbulkan pun beragam, mengingat omnibus law cipta kerja dibuat dengan tujuan untuk kemajuan bangsa dan negara terutama dalam bidang ekonomi agar mampu menggeliatkan perekonomian hingga lima tahun kedepan. Namun pernahkah ditilik serta diamati, bagaimana dampak omnibus law cipta kerja pada kalangan para pelaku usaha?
Tidak sedikit berita beredar bahwa para pelaku usaha sering mengeluhkan tentang proses perizinan kegiatan berusaha yang sulit. Banyak pihak terkait, misalnya para petugas di lapangan yang malah sibuk memperdebatkan adanya omnibus law cipta kerja ini. Sehingga minim waktu untuk melayani pengajuan perizinan kegiatan berusaha dari pelaku usaha. Dampak yang seperti ini siapakah yang akan memperhatikan? Kalangan atas pasti akan sibuk dengan tumpukan tugas, sedangkan kalangan bawah sedang berlari kencang membuat peluang usaha guna membeli beras.
Pelaku usaha yang ada di negara kita tidak hanya dari warga negara Indonesia saja, akan tetapi juga terdapat beberapa perusahaan milik warga asing. Mereka yang sudah lama mendirikan kegiatan usaha di Indonesia sedikit banyak pasti juga merasakan dampak dari adanya omnibus law cipta kerja. Belum lagi mereka yang baru akan mendirikan kegiatan berusaha, sudah pasti merasakan kesulitan yang diakibatkan oleh proses perizinan yang memiliki banyak kerumitan. Mengapa demikian?
Akankah pemerintah berencana mempersulit para pelaku usaha yang dengan jelas turut berupaya untuk menstabilkan kondisi ekonomi negara? Apakah pemerintah sudah benar-benar yakin dengan adanya omnibus law cipta kerja mampu mengatasi seluruh permasalahan yang sering muncul? Sebab tidak semua masyarakat dapat memahami dan menerima kehadiran omnibus law ini terbukti dengan banyaknya penolakan bahkan perlawanan baik dari kaum buruh maupun pelaku usaha.
Meskipun seharusnya kehadiran omnibus law tidak serta merta ditolak karena ada beberapa point penting yang ternyata dihilangkan. Hal ini tentu memicu kegelisahan masyarakat sebagai subjek dari adanya produk hukum. Apalagi jika ternyata semakin hari regulasi yang ada ibarat semakin mencekik leher masyarakat karena dirasa semakin menyulitkan. Tidak kemudian menjadi titik cerah khususnya bagi para pelaku usaha yang hendak dan atau telah mendirikan kegiatan usahanya di negara kita.
Akan tetapi keresahan masyarakat terutama pelaku usaha tersebut sebenarnya bisa ditepis dengan cara terus memahami maksud dan arah dari omnibus law cipta kerja ini. Karena disadari ataukah tidak, sebenarnya semua praktik bisnis di perusahaan atau industri sudah diatur secara rinci di omnibus law cipta kerja yang telah disahkan sejak bulan Oktober 2020 menjadi UU Cipta Kerja. Seperti yang terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha pasal 6 yang menjelaskan tentang peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha meliputi penerapan perizinan berusaha berbasis resiko, penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan penyederhanaan persyaratan investasi. Bukti dari pemerintah menginginkan yang terbaik sebetulnya telah nampak pada point penyederhanaan yang juga bermakna penyesuaian terhadap kondisi negara sekarang. Adanya omnibus law cipta kerja ini sangat membantu para pelaku usaha yang akan semakin kesulitan jika harus memahami undang-undang beribu pasal (sebelum ada omnibus law). Kehadiran omnibus law bisa dikatakan sudah sesuai dengan arah pembangunan ekonomi negara Indonesia hingga lima tahun kedepan baru akan kita rasakan di tahun 2021 ini, meskipun sebenarnya sejak 2020 omnibus law telah disahkan.
Pasal 7 UU Cipta Kerja merupakan point pertama yang sedang gencar diperbincangkan publik yakni pada perizinan berusaha berbasis resiko. Pemerintah saat ini terlihat lebih fokus menangani masalah kegiatan usaha, mengingat selama ini hampir tidak ada usaha yang bebas dari resiko. Entah resiko berupa kesehatan, keselamatan, bahkan lingkungan hidup. Hal itu seakan menjadi santapan lezat dan pemandangan gratis di negara kita. Sehingga upaya yang dilakukan pemerintah dengan cara membuat perizinan berusaha berdasarkan tingkat resiko yang mungkin terjadi dari adanya usaha tersebut dinilai cukup baik. Pemerintah mengutamakan keselamatan manusia dan lingkungan, sebab tujuan dari adanya perizinan berusaha berbasis resiko ini adalah guna mengklasifikasikan tingkat resiko dari sebuah usaha sebelum kegiatan usaha itu dijalankan. Jika sejak awal sudah mengetahui beberapa potensi resiko yang mungkin terjadi, maka para pelaku usaha pasti akan lebih berhati-hati dan cermat.
Perizinan berusaha berbasis resiko dilakukan berdasarkan penetapan tingkat resiko dan peringkat skala usaha kegiatan berusaha. Hal ini dilakukan guna mengetahui resiko yang mungkin terjadi dalam kegiatan berusaha serta potensi terjadinya resiko tersebut. Dalam melakukan kegiatan berusaha memang perlu diadakan penilaian tingkat bahaya yang meliputi aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan atau pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya terhadap jenis bisnis atau usaha yang dilakukan guna menepis terjadinya resiko yang tidak diinginkan. Resiko yang paling mungkin terjadi di setiap kegiatan berusaha adalah resiko kesehatan. Bagaimana tidak, jika kita lihat contoh kecil adalah industri yang berdiri di tengah wilayah padat penduduk, maka sudah barang tentu masayarakat di sekitarnya menjadi korban limbah industri yang terkadang dibuang sembarangan, belum nanti jika terdapat cerobong asap yang asapnya tebal membumbung tinggi mengakibatkan udara di sekitar industri itu tercemar. Jika hal ini tidak diperhatikan sejak awal, maka yang ada adalah meningkatnya resiko usaha dan jika dibiarkan akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Sebenarnya itikad baik pemerintah dengan mencanangkan omnibus law cipta kerja ini tidak bertujuan untuk mempersulit proses perizinan usaha oleh pelaku usaha. Akan tetapi memberikan gambaran secara jelas sebelum pelaku usaha menjalankan usahanya. Pemberian perizinan atas klasifikasi tingkat resiko pun beragam, mulai dari perizinan pendirian usaha dengan resiko rendah maka akan mendapatkan nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. Hal ini tentu berbeda dengan perizinan kegiatan berusaha dengan resiko menengah, maka selain mendapatkan sertifikat berusaha juga mendapatkan sertifikaat standar. Dan juga pada perizinan kegiatan berusaha dengan resiko tinggi yang akan mendapatkan nomor induk berusaha dan izin dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha. Dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah tersebut kemudian akan memberikan sertifikat standar produk berdasarkan verifikasi hasil pemenuhan standar, yang bisa menjadi penguat pelaku usaha yang usahanya memiliki potensi resiko tinggi. Perbedaan ini sebenarnya memberikan dampak positif sebab jika sudah diketahui tingkat resiko yang kemungkinan akan terjadi dari sebuah usaha maka proses yang akan ditempuh pun juga mudah.
Beberapa hal yang juga harus diperhatikan ketika sebuah usaha dijalankan adalah mempertimbangkan penilaian tingkat bahaya berdasarkan pada jenis kegiatan usaha, kriteria kegiatan usaha, lokasi kegiatan usaha, keterbatasan sumber daya, dan atau risiko volatilitas. Penilaian tingkat bahaya ini bertujuan untuk mengetahui lebih detail usaha yang akan dijalankan beserta potensi bahaya yang mungkin saja terjadi. Berdasarkan hal tersebut maka wajar saja bahkan bisa dikatakan betul jika negara ingin melindungi setiap pelaku usaha baik perorangan atau sebuah badan melalui adanya omnibus law cipta kerja ini, sebab melalui UU inilah pelaku usaha dalam dunia bisnis bisa menghindari resiko dalam usahanya.
Jenis kegiatan usaha ternyata cukup berpengaruh terhadap penentuan tingkat resiko dalam proses perizinan. Jika ternyata kegiatan usaha yang akan dijalankan tidak termasuk dalam tiga tingkatan resiko sebagaimana yang telah disebutkan, maka pelaku usaha tidak perlu mendaftarakan perizinan usahanya kepada pemerintah. Hal ini tentu akan mempermudah para pelaku usaha itu sendiri. Untuk menganalisa tingkat resiko maka jenis usaha akan bersinggungan erat dengan lokasi kegiatan usaha. Sebab jika diamati sering terjadi kekeliruan lokasi usaha dengan jenis usahanya. Maka adanya penilaian tingkat bahaya ini penting untuk dilakukan oleh pemerintah bukan untuk mempersulit, akan tetapi mempertegas kegiatan usaha agar resiko atas usaha tersebut bisa dikurangi.
Namun yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah pemerintah sudah menentukan indikator sekaligus klasifikasi usaha? Jawabannya tertuang pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam Catatan Terhadap Wacana Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja 2020 yang menegaskan bahwa perizinan berbasis resiko itu dirasa tidak akan berjalan dengan lancar di Indonesia. Mengapa demikian? Sebab pemerintah dalam menentukan resiko cenderung subyektif, sehingga akan memicu banyak perdebatan. Mengapa perdebatan muncul dari pihak masyarakat?. Karena proses perizinan yang akan diberikan oleh pemerintah akan berhubungan langsung dengan masyarakat terkait tanah dan lingkungan. Jika pemerintah tidak tegas memberikan klasifikasi usaha dan indikatornya, maka sudah jelas masyarakat akan semakin geram dengan produk hukum yang dibuat oleh pemerintah ini.
Maka sebenarnya omnibus law cipta kerja sudah menjadi jawaban atas permasalahan yang ada dalam dunia bisnis. Akan tetapi perlu adanya edukasi serta transparansi dari pemerintah supaya masyarakat terutama para pelaku usaha mampu melaksanakan ketentuan yang ada dalam omnibus law cipta kerja itu. Kehadiran omnibus law cipta kerja pada prinsipnya tidak mempersulit proses perizinan kegiatan usaha. Akan tetapi lebih memfokuskan jenis usaha berdasarkan tingkat resiko yang ada. Harapannya semoga pemerintah segera memberikan warta baru terkait indikator dan klasifikasi usaha yang sampai saat ini masih membingungkan masyarakat.