Masa Depan Pencarian Keadilan

0
1706
sumber gambar : https://unsplash.com/photos/eWpBNXRHfTI
sumber gambar : https://unsplash.com/photos/eWpBNXRHfTI

Pandemi virus korona betul-betul mengubah gaya kita menjalani hidup. Termasuk cara kita mendapatkan keadilan. Mungkin tidak banyak yang tahu, dalam masa-masa pembatasan sosial berskala besar besar sekalipun, Pengadilan masih tetap beroperasi. Mengikuti maxim ironi yang berbunyi hendaklah keadilan ditegakkan sekalipun langit akan runtuh (Fiat justitia ruat caelum). Tentu saja kegiatan di Pengadilan dilakukan dengan berbagai penyesuaian untuk meminimalisir penyebaran virus. 

Kita tentu saja tak sendirian. Pengadilan negara lain seperti Inggris, Amerika Serikat, Singapura bahkan Italia yang terdampak cukup parah juga melakukan hal yang sama. Pengadilan memang sulit untuk diminta berhenti total. Mengingat adanya perkara yang bersifat mendesak. Menyiasatinya, Pengadilan kita pun menempuh persidangan jarak jauh (remote court) dengan bantuan teknologi. 

Untuk perkara pidana/kriminal, persidangan kini dilakukan secara daring. Model persidangan begini memang sempat menjadi bahan diskusi praktisi hukum mengingat belum ada dasar hukum acaranya. Namun kondisi darurat menyatukan kepentingan semua pihak. Pertengahan April kemarin telah ada kesepakatan di antara instansi penegak hukum untuk melakukan persidangan pidana melalui teleconference.

Melalui model persidangan daring, pencari keadilan tak dirugikan dan strategi pembatasan sosial tetap bisa dijalankan. Para pihak yang berperkara berada di tempatnya masing-masing. Hakim cukup duduk di ruang sidang yang dilengkapi layar tanpa kehadiran pengunjung sidang. Penuntut Umum mengikuti dari kantornya. Penasihat Hukum bersama Terdakwa yang ditahan duduk bergabung dari Rumah Tahanan. Melalui sambungan teknologi video conference, persidangan dijalankan.

Semakin lama pandemi ini tak teratasi, kebiasaan sekarang akan menjadi realitas normal baru untuk dihadapi. Persidangan model daring begini akan menjadi rutinitas baru. Meski persidangan model begini belum sepenuhnya bisa menggantikan kenyamanan bersidang ‘manual’. Kita menemui keterbatasan. Khususnya saat proses pembuktian. Untuk perkara yang kompleks, persidangan daring akan mempertaruhkan kualitas pengungkapan kebenaran.

Meskipun memang model persidangan daring bukanlah barang baru bagi Pengadilan kita. Pada tahun 2002, Mahkamah Agung untuk pertama kalinya memberikan izin kepada mantan Presiden (Alm) BJ Habibie untuk memberikan kesaksian lewat teleconference dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog. Pembedanya dengan situasi sekarang, semua pihak yang bersidang kini berada di lokasi berbeda. Sayangnya sejak kejadian ini hingga sekarang, belum terjadi perubahan hukum acara yang mengakomodirnya. Padahal hukum acara menentukan bahwa keterangan keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat 1 KUHAP).

Jikalau pemeriksaan saksi dilakukan secara daring, keterangan yang disampaikannya rentan terdistorsi. Bisa saja saksi menyampaikan keterangannya dalam kondisi ancaman meski di layar tak terlihat. Selain itu para pihak jadi memiliki keterbatasan untuk saling menggali keterangan. Padahal keterangan saksi dalam proses peradilan pidana merupakan alat bukti yang penting dan sangat menentukan hasil akhir. Ekspresi, emosi dan suasana persidangan yang dibangun dalam pemeriksaan silang terhadap saksi berperan penting dalam penggalian kebenaran. Momentum dalam bertanya juga penting dalam proses pencarian kebenaran materil. Belum lagi dampak lain akibat belum adanya pengaturan terkait standar teknis persidangan seperti minimal kecepatan internet, penyiapan pasokan listrik cadangan sampai ketersediaan teknisi. 

Tak terbayang misalnya ketika para pihak sedang serius menjalani pemeriksaan silang, tiba-tiba listrik padam. Dalam situasi lain misalnya terjadi gangguan pada kualitas jaringan internet. Di waktu lainnya perangkat elektronik yang digunakan tiba-tiba rusak. Sementara teknisi tak ada. Belum lagi potensi gangguan (cracking) dari orang iseng terhadap sistem teleconference. Proses komunikasi akan terganggu. Tentu saja bisa diulang, namun momentumnya akan lewat. 

Sejatinya proses persidangan model daring ini akan sangat menjanjikan untuk diteruskan pasca pandemi lewat. Apalagi jika segala macam keterbatasan tadi teratasi. Model persidangan jarak jauh begini akan memangkas waktu persidangan. Waktu tempuh para pihak ke pengadilan yang selama ini sering menyebabkan molornya sidang bisa dipotong. Dengan aplikasi siaran langsung (live streaming) yang bisa direkam, Persidangan pun tetap memenuhi prinsip keterbukaan. Pengadilan pun tak bisa diintimidasi oleh massa pengunjung sidang.

Model persidangan daring sebenarnya juga lebih mudah diterapkan dalam perkara privat. Sayangnya belum banyak dilakukan. Patut diketahui, selama masa pembatasan sosial ini banyak pemeriksaan perkara privat yang terpaksa harus mengalami penundaan karena ketidakhadiran para pihak. Kalaupun para pihak hadir disarankan untuk ditunda. Pengadilan mencoba sebisa mungkin mengurangi mobilitas dan interaksi fisik manusia. Mekanisme daring akan meminimalisir penundaan dan keterlambatan penyelesaian perkara. Sebab terlambat memberikan keadilan merupakan bentuk ketidakadilan (justice delayed, justice denied).  

Jangan salah sangka, sejak dua tahun lalu Pengadilan kita sudah mengenal sistem pelayanan Electronic Court (e-court), sejajar dengan Pengadilan di negara maju lainnya. Sistem ini memungkinkan para pihak untuk mendaftarkan gugatan, membayar biaya perkara dan menerima panggilan sidang secara elektronik. Semuanya cukup dilakukan di depan layar komputer. Mahkamah Agung menyempurnakannya tahun lalu sehingga proses persidangan pun bisa dilanjutkan dengan meminimalisir tatap muka (e-litigation). Meski sementara ini masih terbatas untuk perkara gugatan sederhana, bantahan, permohonan dan gugatan biasa.  

Sayangnya kedua mekanisme ini belum menjadi keharusan. Sehingga masih banyak pihak yang belum tertarik menggunakannya. Ditambah pula agar dapat menjalankan persidangan daring, harus dilakukan sedari awal oleh penggugat. Kalau sudah di tengah jalan, tak bisa diubah. Ketaktertarikan pengguna bisa juga karena faktor lain seperti kesiapan berteknologi para pihak. Apalagi tidak ada kewajiban para pihak untuk menggunakan jasa kuasa hukum profesional. Sebagaimana kita ketahui, urusan keperdataan menyangkut ragam orang dari seluruh lapisan. Karena bersifat keperdataan, maka para pihak yang berperkara perlu menaanggung biaya penyiapan perangkat teknologinya.

Tapi alangkah baiknya jikalau memang mampu, para pihak bersepakat menempuhnya. Sangat menguntungkan. Dari sisi biaya saja akan terjadi penghematan besar-besaran. Seseorang tak harus membuang waktu dan biaya sekedar untuk menjangkau pengadilan. Belum lagi jika misalnya Pengadilannya berada di luar kota atau pulau. Semangat yang selaras dengan prinsip biaya ringan, mudah dan cepatnya Pengadilan. 

Realita persidangan kita memang masih menyesakkan. Cukup banyak waktu terbuang sekedar untuk menunggu dimulainya persidangan. Belum lagi sidang tak bisa dilanjutkan karena salah satu pihak tak hadir tanpa pemberitahuan. Sayangnya kita tak mengenal pidana denda untuk perbuatan contempt of court demikian. Sehingga tak ada insentif yang memaksa para pihak. Bayangkan jikalau penundaan demikian itu dilakukan ketika salah satu pihak berasal dari luar kota. Berapa banyak sumber daya terbuang. Belum lagi banyak agenda sidang yang sebenarnya tak memerlukan kehadiran fisik karena sebatas menyerahkan dokumen saja. 

Berbeda dengan keperdataan, selama pandemi rapat-rapat (kreditur) terkait proses restrukturisasi utang (PKPU) maupun Kepailitan sudah berjalan secara virtual. Seperti pemeriksaan pidana, kreditur tak perlu lagi hadir ke pengadilan karena hampir semua tahapan bisa dilakukan secara secara daring. Kelemahannya memang pada rapat verifikasi awal saja. Setelahnya hampir tak ada halangan berarti. Mungkin karena proses ini selain diawasi Pengadilan, juga ditengahi oleh seorang profesional. 

Di masa pandemi ini, forum arbitrase ICSID yang berada dalam naungan Bank Dunia ini malah sudah mewajibkan seluruh proses persidangan menggunakan mekanisme virtual. Semua pihak harus bersiap. Tak terkecuali para pencari keadilan. Kejadian pandemi ini ditambah lagi era disrupsi teknologi menjadi pengingat kita untuk terus berubah, bersiasat dan berinovasi dalam memproduksi keadilan. Seperti kata Yufal Noah Harari, “the single greatest constant of history is that everything changes.”

Oleh: Bobby R. Manalu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here